Cerpen 2013 : Best Friend
Best
Friend
By: Angel on Fire
Sebuah pagi. Aku menyeruput
kopi pagi sambil berlari-lari menyambar helm. Telat lagi. Sial.
Di kantor semua manusia sudah sibuk
dengan kerjanya masing-masing. Aku menghidupkan komputer tanpa sapaan pagi dan
mulai mengaduk-aduk file yang dari kemarin menunggu dituntaskan.
"Pagi , Non.." Devi
menyapa.
"Pagi.." Jawabku
nyengir.
"Tadi Pak Jenggo nyariin
loh, kangen dia tuh sama you." katanya.
"Hiiy.." aku
bergidik lalu tertawa. Pak Jenggo itu adalah korlip kami yang kejam. Setiap
pagi bibirnya selalu dihiasi dengan repetan yang membuat semua orang tertunduk
malu jika mendengarnya. Wajahnya yang sangar dengan jenggot gondrong, tidak
sesuai dengan tingkahnya yang melambai. That's why we call him Jenggo. Dan kali
ini dia jelas mencariku, dari itu kupastikan aku tidak akan bertemu dia demi
kemaslahatan dan keberlangsungan hidupku.
"Eh.. sana kerja,, besok deadline!" aku mengusir Devi yang
nongkrong di depan meja kerjaku sambil mengunyah roti karamel milikku.
" yeee.." cetusnya
lalu berlalu.
Aku kembali pada komputerku,
mencari-cari lagu andalanku dan memutarnya lewat headset. Life will be weird without music. Thats true! Dan aku kembali
tenggelam dalam tulisan-tulisan yang terancam deadline itu.
***
Pukul duabelas lewat, perut
mulai menggeliat. Orang-orang kantor sudah keluar satu-satu mencari makanan.
Aku juga lapar, namun ada sesuatu yang entah kenapa kutunggu.
"Makan yuk cuy.."
ajak Devi.
"Yop, nyusul coy."
jawabku.
"Aiih..ayolah, lapar
niih.."
"iya, nyusul. tempat
biasa kan?"
"ehheee, ya udah deh, aku
sama Rere di seberang ya, kami tunggu."
"Okay."
Aku kembali memandang
komputer, tidak bekerja, hanya duduk dan...menunggu. Handphoneku berdering
melantunkan "Hey Soul Sister"nya
The Train. That's him. Yeeyyy!! Segera kusambar ponselku.
"Assalamualaikum!!"
suara diseberang membuatku tersenyum.
"Walaikum salam"
jawabku
"Apa cerita?"
tanyanya yang memulai sebuah percakapan panjang dan menyita paket nelpon
hariannya. Kami pun membicarakan banyak hal dari yang tidak penting sampai
isu-isu lingkungan dan pemerintahan. Dia
inilah yang telah mengisi hari-hariku belakangan ini. Dia juga yang membuat aku
lupa dengan beban-beban kantor dan segenap pikiran berat mengenai hal-hal yang
sering kupikirkan. Dia sering menjadi solusi semua permasalahanku. Jika aku
menghadapi sebuah kesulitan, dia adalah obat. Apapun yang disampaikannya akan
membuat aku lebih baik. Bahkan, I'm addicted to him, I guess.
Kami bertemu sekitar dua tahun
yang lalu, kami juga hanya teman biasa, tadinya. Bahkan kami hampir tak pernah
bertemu, sebab kami tinggal di kota yang berbeda. Namun setelah sebuah
perjalanan mempertemukan kami kembali, dia menjadi lebih dari sekedar teman
yang baik. Bahkan dia juga mengakui bahwa sebuah kebutuhan sekarang ini baginya
untuk menelponku. Entah itu sekedar menanya kabar, atau berkeluh kesah tentang
pekerjaannya, hingga cerita-cerita tentang cinta masa lalunya yang dengan
tragisnya kandas akibat keadaan dan katanya tidak bisa ia lupakan sampai
sekarang. Menurutnya itu cukup ampuh membuat dia takut untuk mencinta, sebab
katanya akan mengundang rasa sakit luar biasa saat cinta itu gagal. Sampai saat
ini pun ia masih menyimpan ketakutan itu.
"Aku takut rasa ini
berubah, aku takut jatuh cinta sama kamu" ucapnya suatu ketika. "Saat
ini sejujurnya, aku sayang sama kamu, namun aku masih tidak berani menyebut ini
cinta"
"Do not push, Let it be, just.." jawabku kala itu yang tidak
yakin juga untuk memaksakan hubungan ini menjadi hubungan pacaran. Dia pun
setuju.
Dan inilah kami, saling
merindu tanpa judul apa-apa, just good
friend. Aku sendiri tidak pernah mengakui perasaanku sebenarnya padanya,
aku hanya bilang aku suka dia dan terkadang merindukannya. Tapi aku yakin dia
bisa menginterpretasikannya sendiri bahwa itu lebih dari sekedar rindu biasa.
Semakin hari, dia kian menjadi
teman yang baik. Bersamanya aku pasti bisa tertawa no matter how weary I am, dia selau punya celah untuk membuatku
tersenyum. Itu adalah senjata andalannya yang membuat aku semakin tergantung
padanya. Dia care, dalam setiap
masalah yang kukeluhkan. Aku tidak tahu itu tulus atau care yang dibuat-buat
tapi itu juga yang membuat aku jadi menantikan setiap telponnya.
Tak lama kemudian dia menutup
telpon sebab ada yang menelponnya dan berjanji akan kembali menelpon nanti
malam. Aku kembali ke dunia nyata dimana aku pun tidak kebal terhadap rasa
lapar. Tapi Devi dan Rere sudah kembali dengan wajah cemberut. Kulirik jam
dinding, sudah hampir pukul setengah dua. Jam makan siang pun sudah berakhir.
"O,ow.."
"Nih!" ucap Devi
ketus, meletakkan juga dengan ketus sebungkus nasi campur. Mungkin melihat aku
tak kunjung datang, mereka berinisiatif membelikanku makanan. "Nelpoooonn
mulu, ga jelas lu..!"
"Hehe...makasi Devi
sayang..muuahh.." kataku genit.
"Jijay! siapa sih yang nelpon itu? sampe lupa makan segala"
tanyanya menyelidik.
"Ada deh.." aku mencolek dagunya dan segera menikmati nasi
bungkusku.
"Ihh.. Cerita donk, ya kalau udah punya pacar baru itu
mbok ya dikenalin, bawa kesini, makan-makan.."
"Bukan pacar koq."
"Teruuuusss???"
"Gue harus bilang WOW,
gitu? Hahahaha.."
"Yee,, serius loh, kamu
itu belakangan ini aneh,tau! Nelpon-nelpon kayak ABG lagi kasmaran ga jelas, sampe-sampe kita dicuekin."
"Haha.. Beneran, bukan
pacar loh, cuma temen. Good friend gitu lah"
"Hmmhh, Yakin lu? Rere menyambar
"Yee,, ngikut aja lu.." cetusku
"Ntar kalau udah jadi
pacar bilang-bilang yo.." ejeknya
"Haha..Gila lu" balasku.
Namun dalam hati aku jadi
mempersoalkan itu. Pacar? Zein jadi pacarku? Haha. Kenapa kami gak pacaran aja
ya? Hmm..
***
Malam ini aku hanya
bergolek-golek sambil mendengarkan lagu-lagu kesayanganku di handphone lewat
headset. Hanya itu? Jelas tidak! Aku sedang menunggu as usual. Namun setelah belasan lagu mendayu ditelingaku, ponselku
masih belum berdering. Kulihat jam, sudah pukul setengah duabelas malam. Aku
memutuskan masih untuk menunggu, hingga aku pun tertidur. Aku terjaga sekitar
pukul setengah dua pagi dan memeriksa ponselku apakah ada panggilan yang
kulewatkan, ternyata tidak ada. Zein tidak menepati janjinya, lagi. Tidak bisa
kusembunyikan kekecewaanku, aku memilih untuk menelponnya, dan nada sibuk pun
menjawab kekecewaanku yang semakin menggunung.
Esoknya tidak ada kabar dari
Zein, aku juga tidak ingin bertanya dan memintanya memberi alasan. Aku hanya
diam selama di kantor. Aku ingin menolak ajakan Devi dan kawan-kawan untuk
keluar makan siang, tapi tidak ada alasanku menolaknya. Aku tidak sedang diburu
deadline seperti kemarin, aku juga tidak menunggu siapa-siapa. Akupun menyerah.
Ponselku sengaja ku tinggal di laci kantor, dan ketika aku kembali aku
mendapati sebuah panggilan tak terjawab dari Zein. Aku belum sempat berpikir
apa-apa ketika nomornya kembali muncul di layar handphoneku.
"Assalamualaikum!"
"Walaikum salam"
"Apa kabar dek? Udah
makan siang?" tanyanya.
"Baik, udah barusan"
Lalu nada sibuk kembali
terdengar..
"Dek, nanti abang hubungi
lagi ya.." dan percakapan berakhir.
Aku berusaha sefokus mungkin
dengan tulisan-tulisanku. Tapi Zein memang tidak bisa luput dari otakku,
sedikit saja. Aku iseng ingin mengadu pada Facebook,
dan melancong ke beberapa website.
Kuketik beberapa kata untuk membuat status bahwa aku sedang kecewa, aku sedang
marah dan bahwa aku ingin kau tahu itu. Namun niat itu kubatalkan. Kupasang
headset dan kuputar lagu-lagu cadas dengan volume dahsyat yang menghancurkan
kesedihanku. Tapi "Hey Soul Sister"
The Train kembali bergaung. Kuangkat
telpon, Zein kembali berbicara dan menjelaskan peristiwa kemarin malam dan kami
kembali larut dalam perbincangan seperti biasa.
***
Hari minggu, dan aku merasa
hari ini hari yang istimewa, bukan karena ini hari libur, tapi karena Zein
berkunjung ke Medan hari ini. Yeeeey!! Aku bersorak dalam hati. Kami bertemu di
rumah kostku, perbincangan pun semakin seru, kami tertawa terbahak-bahak ketika
perbincangan menyinggung hal-hal konyol dan akan memasang wajah serius ketika
mulai membahas persoalan hidup, tapi kami tidak pernah membicarakan tentang
kami, sama sekali. Hingga waktu tak terasa cepat sekali berlalu dan Zein harus
pulang.
"Nice to meet you, Zein, really.." ucapku.
"Me too, honey.." jawabnya, tanganku dalam genggamannya.
"I wish I had more time here now"
Aku cuma tersenyum dan
merelakan Zein berlalu. Sial! Kenapa jadi begini? Pertemanan macam apa ini? Aku
jadi salah tingkah. Dia mengecup dahiku sebelum pulang. Makin gawat. Aduuh!!
Aku tahu dia ingin memelukku tapi tidak mungkin ia lakukan kecuali dia cukup
gila untuk berani memeluk wanita di depan banyak orang. Memangnya di Amerika
sana? Aku tidak penah membayangkan juga jadi pacar Zein, hingga saat ini aku
juga belum ingin merubah ini jadi serius. Tapi, aku ingin dekat Zein.
***
Senin pagi entah kenapa aku datang
lebih awal dengan wajah berbinar-binar penuh energi. Aku mulai mengerjakan
pekerjaanku sambil bernyanyi-nyanyi kecil hingga teman-temanku heran melihatku,
begitu juga korlip si Pak Jenggo. Dia melontarkan "sarapan" padaku
ketika rapat budgeting hari ini. Namun aku, yang biasa melawan dengan berbagai
argumen bantahan hingga fakta-fakta akurat yang bisa mematahkan repetannya,
hanya tersenyum seolah ikhlas menerimanya. Dia pun kehabisan kata-kata dan
mengalihkan kesalahan pada orang lain.
"Gi, kamu kenapa sih?
Aneh tau.." cetus Devi.
"Kenapa? Biasa
ajjah.." aku senyum-senyum.
"kamu pasti lagi kasmaran
kan? iihhh.. tu kan,, senyum-senyum kayak kuda.."
"hehe.. Devi
sayang.." aku memeluk Devi, dia meronta-ronta.
"ihh.. Egi
gilak..hiiii.." katanya ngeri setelah melepaskan diri dari pelukanku. Aku
hanya tertawa melihatnya. Namun setelah itu aku menceritakan kejadian kemarin
padanya, agar sahabatku itu mengerti kegilaanku saat ini. Hari pun berlalu.
***
Belakangan ini aku agak jarang
berkomunikasi dengan Zein, aku sibuk mengurusi rubrik jalan-jalan dan wisata
kulinerku yang kini mulai dikembangkan ke luar kota. Akupun bolak-balik ke luar
kota untuk urusan meliput tempat-tempat wisata itu. Zein juga sibuk dengan
liputan kriminal di kotanya, kabarnya dia juga akan naik jabatan menjadi
redaktur pelaksana. Beberapa waktu, ada panggilan tidak terjawab di ponselku,
hanya kubalas dengan sms.
Aku sedang berada dikantor
ketika aku dapat berita bahwa aku harus ke Nias untuk meliput langsung wisata
pantai Nias. uh!
Aku pun menjelajah Facebook sebentar sebelum pergi keluar untuk makan
siang bersama Devi. Beranda facebook ramai dengan status-status penghuninya,
semua kubaca, beberapa kuberi jempol. Hey, ada Zein yg baru saja mengupdate
relationship statusnya menjadi "berpacaran". Tepatnya Zein Muhammad went from 'single' to 'in relationship'.
Ha? Pacaran sama siapa?. Aku sakit kepala.
***
Liputan di Nias pun terjadi
begitu saja. Alam Nias yang luar biasa itu tidak bisa menghipnotisku untuk
melupakan status Zein. Aku merasa ingin cepat-cepat pulang, dan mengharapkan
memeluk bantal gulingku secepatnya. Benar saja, begitu tiba di rumah kost, aku
segera mencampakkan diri ke tempat tidur dan memeluk bantal guling. Aku tidak
ingin melihat siapapun, kepalaku dipenuhi tanda tanya. Tapi aku cukup gengsi
untuk bertanya langsung pada Zein. Ingin bertanya, kamu jadian sama siapa sih?
Apa maksud kamu buat status gituan? Tapi tidak mungkin, who am I?
Ponselku berdering, Zein memanggil.
Kubiarkan berlalu. Berdering lagi. Kubiarkan. "Aku kenapa sih?"
makiku dalam hati. Zein itu kan seorang sahabat yang mungkin hanya ingin nanya
kabar. Kenapa aku jadi uring-uringan begini? Aih..
"Halo" jawabku untuk
panggilan Zein yang ketiga.
"Assalamualaikum."
ucapnya
"Walaikum salam"
"Kemane aje non?"
"Tidur"
"ooh..besok abang ke
Medan, ada urusan kerjaan. Ketemu yuk!"
"ok."
"Masih ngantuk ya? Ya
udah, tidur lagi sono.."
"hmmm.."
"Assalamualaikum"
"walaikum salam"
Airmataku mengalir tanpa
aba-aba. Aku cepat-cepat menghapusnya sambil tak henti-hentinya memaki diri
sendiri. Kenapa aku tidak bertanya saja tadi? Kenapa aku tidak bersikap seolah
tidak terjadi apa-apa? Toh, dia punya hak untuk jadian sama siapa saja. Semakin
aku mengingat itu aku semakin mual. Aku mencari-cari lagu-lagu cadas andalanku
yang biasa menjadi obat kesedihan. Aku tahu aku harus bersikap wajar yaitu
dengan tidak mempermasalahkan status Zein. Harusnya aku ikut senang jika dia
sudah mendapat wanita pilihannya. Harusnya. Airmataku mengalir lagi diiringi
suara Matt Shadows yang berdenyut-denyut di kepalaku.
"We were more than friends before the story ends, I will take whats
mine, even God never design...Our love had been so strong for far too long...
Almost laugh myself to tears, conjuring my deepest fears..."
Aaaaaarrggh!!! Lagu itu semakin menertawakan aku. REfleks aku mengganti lagu
itu. His "Burried alive" will
be OK, pikirku.
".....much has changed since the last time, and I feel a
little less certain now, You know I jumped in the first sign. Tell me only if
It's real.."
Aku malah semakin mual, sepertinya semua lagu kuinterpretasikan dengan berbeda.
Semua lagu tidak jadi obat yang baik kali ini.
Aku memutuskan untuk mengecup teman lama yang
hampir setengah tahun tidak pernah kusentuh. Rokok. Asap mengepul diseluruh
kamarku. Aku mencoba mengingat hal-hal di luar Zein. Kantor. Kampung. Ponakan
yang imut-imut, Elhizkia, bocah umur 4 tahun yang sudah bisa main biola,
terakhir kami berjumpa dia minta dibelikan baju spiderman lengkap dengan
topengnya. Aku tersenyum mengenang polahnya. Sahabat, Devi, cewek smart, cantik namun selalu saja buat
malu karena grogi yang berlebihan di depan cowok. Tiba-tiba aku kepikiran untuk
menelpon Devi, menceritakan sedihku. Curhat!
Devi, seperti biasa menanggapi
keluhku dengan bijaksana. Bagaikan ibu yang baik dia menasehatiku dengan
petuah-petuahnya. Dia kecewa melihat aku menjadi cewek mellow yang harus
bersedih-sedih ria untuk alasan yang tidak jelas.
"Dia kan temenmu, ya
tunjukkin kalo kamu tu nganggep dia temen.." katanya. "Kamu sih, ga
mau jujur langsung sama dia, banyakan gengsi.."
"Gila
lu, aku ga mau dia mikir aku ngebet
jadi pacarnya donk ah!" jawabku
berkilah.
"Jadi kalo gitu
masalahnya apa sih sekarang?"
"Hmmm..." aku diam.
"Jadi bingung gue, kalo
emang kamu fine aja dia punya pacar,
kenapa mewek non? Bilang aja kamu
suka dia deh,, pake berkilah
segala"
"terus, kalo aku suka
dia? Dia kan udah punya pacar.." aku mewek
lagi
"Bilang aja.. bilang..
Just tell him, ok.. Lalu untuk sementara ini netralisir dulu sedih-sedihmu itu,
bersiap dengan kenyataan terburuk dan siap-siap untuk move on, I promise I'll
be here, OK.. Sekarang kakak mau bobok dulu ya dek.." ucapnya mengahiri
sesi curhat kami.
I am not feeling better. Aku masih terpuruk. Tapi aku
berusaha recovery secepatnya, seperti
kata Devi, netralisir semua kesedihan dan prasangka buruk. Aku benar-benar
menunggu Zein, bagai menunggu bom waktu yang akan meledak meluluh lantakkan
seluruh duniaku, aku akan siap dengan apapun yang akan kudengar besok.
***
Zein muncul dengan kaos oblong
hitam dan celana lapangan, dia tampak lebih keren dengan tampilan begitu. Masih
dengan senyumnya yang khas itu dia menyapaku bagai seorang yang terlalu rindu.
Aku senyum sebisaku menyembunyikan keanehan yang terjadi. Tapi bukan Zein
namanya kalau dia tidak bisa merasakan itu.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ah, gak apa-apa..
Kenapa?" jawabku pura-pura tolol.
"Well, kalau tidak apa-apa, I
have something to say to you"
"Say it.."
"First, aku sayang sama kamu" Aku merinding. "Aku gak bisa
pungkiri kalau aku butuh kamu as more
than friend" Aku semakin merinding, jantungku berdegup tak menentu.
Apa dia gila mengatakan itu?
"You know, kamu adalah wanita spesial yang pernah ada di
hatiku" Aku pusing. "Tapi, belakangan ini, aku berfikir, rasaku
padamu itu adalah rasa sayang yang sangat besar untuk seorang teman baik,
sebagai saudara bahkan." darahku sudah dari tadi tidak mengalir lagi, I guess. "I dont know how to say but I just wanna be your best friend.."
Dueerrr!!! Sebuah bom meledak menghancurkan kepalaku.
"Aku tahu rasa sayangmu
padaku juga seperti itu, jadi, hingga kemarin seorang dari masa lalu itu datang
kembali dan aku merasa rasa cinta yang kemarin masih ada untuknya. Dan aku
sedang menyusun kembali puing-puing cerita kami yang dulu begitu indah
itu.." Aku menahan nafas untuk mengatur rasa yang meledak-ledak dari dalam
itu.
"Dan aku tidak mau kamu
menjauh dariku hanya gara-gara aku sudah punya pacar, kamu adalah kekuatanku
selama ini untuk menjadi a tough man, dear.."
"Ow..congrats.." ucapku tidak berani memandangnya, takut
ketahuan kalu airmataku hampir meleleh.
Kami diam, memandangi
anak-anak yang melintas dengan sepeda mereka di sore yang merekah ini, entah
apa yang mereka lakukan tapi mereka pasti mereka merasa dunia ini milik mereka.
Terlihat dari teriakan-teriakan mereka yang asik dengan permainannya tidak
peduli dengan orang-orang yang melintas.
"Gi.." ucap Zein
lagi.
"Ya.." Jawabku
"Kamu gak apa-apa kan,
kamu masih mau jadi teman baikku kan?"
Aku mengangguk.
"Gak akan ada yang berubah kan, Gi?"
"Tentu.."
Tentu saja aku berbohong.
Langit diatas sana kuning
keemasan. Udara mengalir sejuk membelai rerumputan depan rumah dengan mesra dan
berbisik-bisik tentang sore yang indah.
***
*cerita ini asli fiktif banget, serius!!
Komentar