Malaikat Bersayap Pedang I
Pasir, angin, karang, ombak, langit putih.
"Kau, kau menginjakkan kaki di sini?!"
"Kenapa?"
"Bukankah katamu tempat ini sudah kau kutuk,"
"Ya, kenapa?"
"Karena kau Malaikat, bukan lantas kau bisa suka-suka
melanggar kutukan kan ?"
"Aku tidak melanggar kutukan manapun,"
"Lalu kenapa kau ke sini?,"
"Lantas apa yang membawamu bertanya kenapa aku di sini.
Bukankan kaupun bagian dari kutukanku,"
"Hahahha.. Apa maksudmu?"
"Ya, tempat ini terkutuk karena janjimu. Janjimu pada
tempat ini. Janji yang kau tanam di bawah bumi tempat ini,"
"Itu kan
hanya janji, tidak mungkin itu penyebab lahirnya kutukan, kau terlalu
berlebihan,"
"Yah, itu tidak akan menjadi kutukan bila janji itu tak
kau tambal dengan janji dengan lain, yang mungkin kau tanam lagi di bawah bumi
tempat ini,"
"Lalu kenapa? Kenapa kalau aku menanam banyak janji?
Aku pria, dan sudah sewajarnya aku menanam janji kan ?"
"Hmm.."
"Bukankah dari sekian banyak janji itu nanti ada yang
kutuai, aku lihat dulu mana yang paling pantas dituai, begitu bukan?"
"Ya,"
"Lalu?"
"Apa?"
"Untuk apa kau kemari? Kau pasti berharap janjiku
untukmu masih bersemai disini,"
"Salah,"
"Terus?"
"Aku kesini menagih janji. Janjimu pada dunia, janjimu
yang bertambal-tambal pembenaran,"
"Hey! Itu bukan pembenaran! Itu kebenaran yang kucoba
katakan dengan pembenaran,"
"Ya sudah, itu akan kutagih sekarang,"
"Bukan karena kau Malaikat lantas kau bisa menagih apa
saja dong! Aku kan
sudah membuang janjimu,"
"Baiklah, ucapkan terimakasih saja,"
Pedang berayun secepat kilat. Sebuah kepala menggelinding.
Sementara tubuh yang tersisa bermandi cercaan darah. Kabut menjadi merah. Dalam
nafas putus-putus, dari kubangan darah terlihat sayap-sayap kecil mengepak.
Janji. Beratus. Beribu. Berjuta sayap-sayap merah memenuhi udara. Langit
seperti terbakar senja itu.
Komentar