Kisah Pria yang Marah


Aku teringat bahwa dulu aku pernah ingin menikam seorang wanita. Tentu saja itu hanya keinginan, takkan pernah kuwujudkan meskipun dosa membunuh orang misalnya resmi dihapuskan.

Aku begitu lantaran terlalu benci kepada wanita yang merupakan janda anak dua itu. Bagaimana tidak, ia menjalin cinta dengan kekasihku diam-diam waktu itu.

Perbuatannya membuatku tak bisa tidur nyenyak, aku bahkan mengutuk-ngutuk dan menyumpah ketika melihat tulisan tentang kasmarannya di media sosial.

Sebenarnya hak semua orang ya untuk menulis dan mengungkapkan perasaan masing-masing di medsos. Tapi yang membuat aku jijik dengan semua tulisannya adalah karena aku tahu bahwa tulisan-tulisan tentang cinta itu ditujukan untuk pria yang masih jadi kekasihku.

Lancang dan lantam puisinya selalu menyisakan sayatan pedih di hatiku sebelum kusadari yang seharusnya kutikam atau kupenggal lehernya adalah kekasihku saat itu.

Karena yang lebih menjijikkan lagi adalah, pria itu ternyata membalas puisi-puisi si perempuan di wall medsosnya sendiri. Saling berbagi like, komentar, emoticon bahkan membuat puisi saling memuji.

Apakah mereka saat itu berfikir aku tidak tahu apa-apa? Atau memang sengaja menunjukkan itu padaku atau bagaimana? Begitu pikirku dahulu.

Laki-laki biadab itu memanfaatkan kepolosan wanita, mempermainkan ketulusan perempuan.Dan dengan pedenya menjalin cinta-cinta lain di depan mata.

Ah, begitulah. Singkat cerita berselingkuhlah para bajingan itu. Detailnya, tak perlu kuceritakan.

Aku merupakan si bodoh yang malang terlunta-lunta dalam kesedihan, menguatkan hati untuk memutuskan tali percintaan dan silaturahmi dengan pria busuk itu. Biarlah, pikirku. Biarlah bajingan bertemu bajingan menjadi pasangan terbajingan di muka bumi ini.

Itu kata bibirku. Hatiku tentu belum sepenuhnya terima. Bagaimana mungkin aku yang tak tahu apa-apa dan lagi tulus-tulusnya (baca: goblok-gobloknya) mencintai malah dihianati seperti anak kecil yang belum bisa baca tulis?. Tidak, aku tidak terima secepat itu.

Aku tentu masih mengintip media sosial keduanya. Dan makin mesralah mereka dengan kebajingannya. Malas aku menjabarkannya.

Suatu hari saat aku mulai sembuh, datanglah pesan dari seorang pria. Memperkenalkan nama dan meminta janji bertemu. Siapa?

Kemudian datang lagi panggilan telepon dari seorang sahabat yang memperkenalkan siapa pria misterius itu. Dan mereka ingin menemui aku dengan sebuah maksud yang serius. Oke, kita bertemu.

***

Berteman kopi dan kentang goreng di sebuah kafe, aku, pria itu dan kawanku mulai memperbincangkan maksud mereka. Kulihat dari tampilan luarnya, pria itu mungkin pegawai kantoran, aku tak tanya apa pekerjaannya.

Selama kurang lebih satu jam kami di sana yang banyak mengambil alih pembicaraan adalah kawanku. Sementara si pria itu hanya diam sambil menyesap minumannya yang aku tidak ingat apa persisnya. Aku juga begitu.

Rupanya yang kami diskusikan adalah hal yang amat serius. Derai tawa hanya ada saat perkenalan dan pembukaan. Selebihnya suasana tegang. Terlebih aku, yang sampai mengurut dahi mendengar kalimat per kalimat dari mulut mereka.

"Kau kenal si Anu (bukan nama sebenarnya)?" itu kalimat awal pembuka diskusi kala itu. "Si Anu itu istrinya abang ini, kita sempat bertemu di T*****," lanjut kawanku.
"Ya,kenal" jawabku.
"Kau masih pacaran sama bang Itu (bukan nama sebenarnya)?" tanyanya lagi.
"Enggak," jawabku
"Nah itu masalahnya, istri abang ini sekarang lagi dekat sama Bang Itu. Mereka sering telpon-telponan, bahkan laporan anggota abang ini mereka pernah nginap di hotel di Kota B*****. Abang ini merasa istrinya dipengaruhi sama abang Itu, sampai-sampai berani minta cerai," jelas si kawan.

Selama si kawan bercerita, si pria itu kelihatan sedang menahan emosi yang membara. Gelas minumannya sampai bergetar, jelas sekali amarah sedang membakar hatinya karena perbuatan si istri dan pria simpanannya.

Amarah seorang  suami yang tidak terima istrinya menjalin cinta dengan pria lain, meskipun mungkin ia sendiri telah melakukan kesalahan pada istrinya.

Dari cerita yang kutangkap, mereka sudah pisah ranjang atau pisah rumah karena masalah tertentu. Jadi intinya rumahtangga mereka itu memang sudah di ujung tanduk namun datang seseorang yang membantu mendorongnya ke pintu perceraian.

"Aku gak terima kak, sebelum kenal dia istriku ini tak berani mengancam cerai. Ini sudah pandai pula dia berbicara seperti ada yang mengajari," si pria angkat bicara.

Dia berbicara sambil gemetaran karena emosi. Emosi yang gawat misalkan musuhnya ada di depan pasti sudah dia ratakan dengan tanah. Emosi yang sangat kasat mata sehingga aku menganggap perbincangan ini cukup serius.

"Aku tahu kakak juga sakit hati sama laki-laki itu. Setuju kakak kalau kita culik saja dia? Kakak tidak usah ikut. cukup beritahu di mana dia tinggal, nanti anggotaku yang datangi dia," katanya lagi.

Alamak!

Sebenci-bencinya aku sama orang, tidak pernah pula aku terniat mencelakakan mereka di dunia nyata. Itu kriminal namanya. Dan aku masih muda, aku tidak mau terlibat perbuatan kriminal.

"Kenapa minta persetujuanku. Aku tidak ada hubungan apa-apa lagi sama dia. Kalau kalian mau, ya lakukanlah, jangan ajak aku," kubilang.

"Sekarang gini, kakak beri tahu aja dimana dia tinggal, biar kami yang datang kesana. Aku cuma mau ngomong saja sama dia," katanya.

Bah! Tadi mau menggonikan orang, sekarang cuma mau ngomong saja? Jangan-jangan selesai berbicara langsung kena tikam si kawan itu. Duh, aku ingin sih dia mati, tapi jangan ada campur tanganku dong.

"Gak lah bang, aku tak mau terlibat," kujawab singkat.

"Abang kenal sama si apa (bukan nama sebenarnya) kan? Dia numpang tinggal sama si apa itu, abang tanya saja dia dimana kostnya," kataku kepada kawanku dan menyisakan kecewa di wajah si pria.  Dia pikir mungkin masih ada sisa cinta sehingga aku melindungi bajingan itu. Padahal tidak sama sekali, aku cuma tidak mau terlibat kriminal.

Pertemuan dan diskusi kami pun berakhir tanpa ada kata sepakat dan informasi penting yang mereka inginkan dariku.

***

Setahun berlalu, banyak kejadian terjadi pada hubungan mereka. Tidak ada hubungannya denganku sih. 

Kudengar, pasutri itu jadi bercerai. Si pria sudah menikah juga dengan orang lain setelah bercerai dengan istrinya. Namun si istri tetap menjanda, mungkin ia berharap kisah cintanya berakhir di pelaminan bersama si pria bajingan. Namun ternyata tidak seperti itu ceritanya.

Lalu si bajingan apa kabarnya?

Setelah sukses membantu kekasihnya bercerai dengan suaminya, Si bajingan pun menikah dengan orang lain pula. Seolah menyanggah tuduhanku dan tuduhan semua orang bahwa dia selingkuh dengan janda itu.

Dan dia mungkin menyebut, saat itu ia hanya membantu seorang teman untuk keluar dari masalah. Beres! Begitulah, yang bajingan akan tetap bajingan. (*)



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Obat Trigoxin dan Review "Run" (2020)

Review Film: Bahubali, Klasik tapi Asik

Review Film "Share (2019)": Perjuangan yang Keliru