Air Mata Gusti



Senja turun, babak baru sebuah malam akan segera dimulai. Gemuruh dari awan-awan kelam mencipratkan kilatan cahaya di dalamnya.

Gusti berjalan kelu. Kakinya gontai, bukan oleh badai. Hatinya sakit. Sakit sekali, sepertinya ribuan kecewa menyengat perasaannya. Sedih, luar biasa sedihnya hingga nafasnya tersengal-sengal.

Gusti berteriak-teriak kepada langit kepada siapa saja yang melintas dan dengan pandangan heran menatapnya. Namun sedih dan sakit hati itu tidak kunjung hilang. Justru kesedihan itu terasa mencabik-cabik jiwanya hingga menjadi kepingan. Rasanya tidak tergambarkan.

Ia bingung, bingung sekali. Kesedihan itu menjadi-jadi. Ia meraung-raung, berteriak agar sakit itu hilang. Beberapa orang mencoba menolongnya, menanyakan kenapa. Dan mencoba menawarkan sejumlah solusi.

"Aku sedih, aku sakit, sakit sekali hatiku. Aku betul-betul sediiih," raung Gusti.

"Kamu coba berhenti teriak, tenangkan dirimu, rileks, dan cerita pada kami," saran seorang pemuda dari sejumlah orang yang mengerumuninya.

"Aku sedih, apa kalian tidak lihat wajahku sesedih ini? Katakan, katakan apa yang harus kulakukan?," jawabnya.

"Iya, kamu jangan teriak-teriak. Tenang dulu, tenang, kalem, baru cerita, toh kamu teriak-teriak sedihmu engga berkurang kan?" ucap seorang bapak yang juga mengerumuninya.

"Jadi aku harus apa? Kalau diam, aku makin nyesek, sakit tau!"

"Coba minum air putih ini,"

"Ah, tak mempan. Aku masih sedih,"

"Coba kamu nangis, daritadi kamu teriak-teriak tapi kamu gak ada nangis. Biasanya airmata mengurangi kesedihan,"

Benar juga. Ia daritadi belum menangis, diapun tak tahu bagaimana caranya menangis. Dia sudah lupa kapan terakhir kali ia menangis.

"Hey, tunggu! Bagaimana caranya menangis," tanya Gusti yang disambut wajah heran orang yang mengerumuninya.

"Kau tak tahu cara menangis? Tangiskan saja, keluarkan air matamu," ucap pemuda bertopi merah.

Gusti memejamkan mata dan berusaha mengeluarkan airmatanya. Ternyata tidak bisa, padahal sedihnya semakin menyesakkan dada.

"Ayo, menangislah, seperti ini," pria bertopi merampas snack jagung dari tangan seorang bocah laki-laki dan disusul teriakan dan tangisan memecah langit.

Gusti memperhatikan dengan seksama. Anak itu mengeluarkan airmata yang banyak. Bercucuran ke pipinya hinga semua wajahnya seperti basah berikut oleh ingusnya yang ikut masuk mulut.

Ia kehilangan, sama seperti aku, maka ia menangis, pikir Gusti. Ia merasakan rasa yang sama sedihnya denganku. Lalu kenapa airmataku tak mau keluar? Kenapa aku tidak bisa menangis?

Orang-orang pun sibuk memberi saran. Mulai dari obat tetes mata, operasi mata, hingga minta teteskan keringat anak-anak yang dianggap keramat.

Berhari-hari, berbulan-bulan Gusti masih tidak bisa menangis. Ia putus asa setiap kali kesedihannya mencuat mengoyak-ngoyak hati. Mendiamkan saja rasa itu mengantam-hantam jantungnya yang berdegup tak berirama. Rasanya ia ingin mati saja.

Beberapa waktu lalu ia mendatangi dokter, memeriksakan mata. Dokter mengatakan mungkin ada masalah pada kelenjar airmatanya. Sehingga ia dioperasi, matanya terasa bagai tersayat-sayat. Pedih. Dan ia mencoba menangis. Airmata tak juga terbit.


Akhirnya, Gusti dianggap aneh oleh penduduk kota. Ia pergi mengasingkan diri ke sebuah tempat sepi. Tempat yang ditinggalkan. Sejelek apapun drama hidupnya, Gusti sangat berharap dia bisa menangis. Ia tidak peduli bakal dianggap cengeng atau lemah, yang jelas ia ingin sekali menangis. (bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Obat Trigoxin dan Review "Run" (2020)

Review Film: Bahubali, Klasik tapi Asik

Review Film "Share (2019)": Perjuangan yang Keliru