Mangir dan Jangkrik


Ilustrasi
Malam meradang. Bulan merah hampir redup ditelan hawa dingin yang menggigit hingga sum-sum tulang. Nyi Mangir menembang lirih di bawah pokok kamboja, meratapi awan-awan. Seolah sedang menunggu ksatria penunggang naga tiba-tiba melintas. Tapi lama menunggu yang ia lihat hanya kalong bolak-balik terbang, sesekali seolah menyeruduk mukanya.

 

Terdengar lantunan tembang asing diantara sesayup udara, bayangan dari jauh mendekat membentuk satu sosok. Waru Jangkrik bersiul memegang busur panah lengkap dengan anak panahnya. Ah, pemburu. Lagi.


“Hey.. Apa dan siapa? Apa kau juga menawarkan deretan luka?” kata Nyi Mangir meringis menggaruk borok di tangannya.


“Kau Nyi Mangir?” kata Waru Jangkrik mendekat.


“Iya. Tak kau lihat ini bau semerbak penatkan hidung? Tak kau lihat ini badan penuh cabikan luka? ucap Nyi Mangir menepis kabut untuk melihat wajah Waru Jangkrik.


“Loh, luka-luka itu ada di semua tubuh orang. Kenapa sampeyan sewot? Emangnya cuma sampeyan yang pernah luka-luka? Helloow.. Everybody hurts kali,” balas Waru Jangkrik.


Nyi Mangir merasa risih dengan keberadaan Waru Jangkrik. Tapi Waru Jangkrik bahkan tak menaruh perhatian sedikitpun padanya. Ia hanya duduk di tengah padang dengan anak panahnya sambil bersiul-siul. Menunggu sesuatu. Sesekali matanya sigap menangkap kelebat bayangan, selebihnya siulannya yang terdengar diantara gesekan ilalang.


Nyi Mangir hanya mengamati dari jauh. Ia membaca cabikan luka memborok di punggung Waru Jangkrik. Sebagian busuk dan bernanah. Sekali ia terlihat menggaruk punggung boroknya dengan ujung anak panah. Luka itu berdarah lagi. Tapi Nyi Mangir tak bisa berbuat apa-apa. Luka yang sama, hanya perlu dibaca.


Ia kembali menembangkan lagu-lagu malam. Nama Waru Jangkrik ada di dalamnya. Jangan putus asa itu pesannya. 


“Siapapun yang mengirimmu kemari, tak kusoal lagi. Biar mereka mengatakan kata mereka. Kalau kau mau tinggal, silakan tempati padang itu selama yang kau mau. Tak perlu kau urus sertifikatnya ke lurah, camat atau BPN. Cukup berjanji saja pada Tuhan kau tak tambah kerusakan,” ucap Nyi Mangir dalam kidungnya.


“Memang siapapun yang mengirimku bukanlah urusanmu. Kau cukup diam hingga aku memutuskan akan kuapakan ladang ilalangmu. Jika pemusnahan adalah jawabnya, siap-siapkan lah obat untuk luka bakar,” jawab Waru Jangkrik dalam siulnya yang menjadi lebih mirip dengan suara jangkrik. 


Nyi Mangir risih, bukan soal luka. Luka adalah bagian hidupnya yang tergambar jelas di atas kulitnya yang compang-camping pedih jika dialiri angin. Ia ingin lari, tapi kakinya hingga setengah badannya tertanam di tanah. 


Urat-urat kakinya telah menjalar hingga ujung kampung, tak bisa ia tarik atau patahkan. Maka dengan lirih ia menangkupkan tangannya sambil bernyanyi pada langit.


“Nyanyikan aku lagu malam, lagu tidur, agar aku terbakar dalam diam bila Waru Jangkrik membumihanguskan padang ilalangku seperti mereka yang sudah berlalu. Aku tak akan risaukan jika dia esok pergi atau berubah jadi debu-debu putih di udara. Aku ingin hilang malam ini, malam ini saja,” 


***


Pagi merekah dari timur menghantarkan hangat kepada mereka yang mulai beranjak dari tidurnya. Sinar kuning menembus meresap ke dalam daun, batang hingga akar pepohonan. 


Nyi Mangir menyipitkan mata dan mengibaskan tangan berdaunnya menutupi cahaya yang menembus kulit boroknya.


Siulan Waru Jangkrik memekakkan telinga. Sementara ia belum berbuat apa-apa. Padang ilalang masih tak bergeming belum jua terbakar, cuma dingin. Ilalang layu tak bermuarakan harap. Sejujurnya mereka berharap terbakar saja. Hingga besok-besok masih bisa kemungkinan tumbuh menjadi pribadi baru. Mereka suka api, walau mematikan tapi jelas. Panas.


Begitu juga dengan Nyi Mangir, dari malam bermula ia berharap mimpinya selesai ketika api sudah menghitamkan semua ilalang. Tapi ketika subuh menjelang, Waru Jangkrik hanya duduk bersama anak panahnya bersiul jangkrik, merisihkan telinga.


"Hey Jangkrik, pergi saja jika kau tak bernyali membakar padangku. Menghilanglah dalam lembah di bawah sana. Aku muak mendengar siulanmu. Nadanya mengancam, membuat aku jadi pengecut," teriak Nyi Mangir dari bawah pohon kamboja.


Waru Jangkrik bangkit dari duduknya. Menawarkan air yang semalaman ia kumpulkan dari tetesan embun. Meneteskannya pada tangan Nyi Mangir, sedikit saja. Embun yang sejuk, sesejuk udara dini hari di Puncak Sibayak atau di Danau Toba. Hingga Nyi Mangir mematung beku karena dinginnya.


"Matimu takkan karena api," bisik Waru Jangkrik. 


Nyi Mangir menggigil, gemetaran hingga suara gemeletuk giginya kedengaran nyaris seperti akan patah. Ketakutan mulai merayap-rayap di sekujur tubuh menuju ujung kakinya. 


"Tidak, jangan lagi. Tidak untuk harapan lagi, tidak," katanya miris menangisi embun yang ditinggalkan Waru Jangkrik. Tangisannya kini berubah menjadi ratapan, raungan pilu yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.



Kepada yang abai, 

Medan 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Obat Trigoxin dan Review "Run" (2020)

Review Film: Bahubali, Klasik tapi Asik

Review Film "Share (2019)": Perjuangan yang Keliru